Khiyar secara etimologis berarti
memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang
terbaik dari dua hal (atau hal) untuk dijadikan orientasi.
Secara terminologis dalam ilmu
fikih, khiyar berarti hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha
untuk memilih anatara dua ha yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut
ataumembatalkannya. Menurut Sayyid Sabiq khiyar adalah mencari kebaikan dari
dua perkara, antara menerima atau membatalkan sebuah akad.
Macam-Macam Khiyar
Jumlah khiyar cukup banyak dan
diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiah
khiyar ada 17 macam. Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu
khiyar al-taamul (melihat, meneliti )yakni khiyar secara mutlak dan khiyar
naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang
dijual. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
khiyar terbagi dua, khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli
memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis
maupun syarat. Kedua khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam
lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatanatau adanya penggantian. Adapun
khiyar yang berdasarkan syara’ menurut ulama syafi’iyah ada 16 dan menurut
ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam.
Diantara khiyar yang paling masyhur adalah :
1.Khiyar al-Majelis (Hak Pilih di Tempat Akad)
Semacam hak pilih bagi
pihak-pihakyang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau
melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Sebagaimana yang
telah disabdakan Rasulullah SAW:
البيعان
بالخيار ما لم يتفرقا فان صدقا بينا بورك لهما بيعهما وان كتما وكذبا محقت بركة
بيعهما
“
Dua orang yang melakukan akad jual beli, dibolehkan melakukan khiyar (pilihan)
selama belum berpisah. Jika keduanya berbuat benar dan jelas, maka keduanya
diberkahi dalam jual beli mereka. jika mereka menyemunyikannya dan berdusta
maka Allah akan menghilangkan keberkahan jual beli mereka.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Hakim bin Hazam).
Maksudnya setiap pihak mempunyai
hak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya belum berpisah
secara fisik.
Jika keduanya bangkit dan pergi
bersama-sama, maka pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap paling
terkuat, bahwa apa yang dimaksud dengan berpisah disesuaikan dengan adat
kebiasaan setempat.
Sedangkan akad yang biasa dilakukan
dengan maksud tidak ada perubahan seperti, akad perkawinan dan perceraian, maka
khiyar majelis tidak berlaku. Demikian juga pada akad-akad yang bukan lazim
seperti mudharabah (akad berserikat untuk mendapat keuntungan), syirkah (konsorsium)
dan wakalah (keagenan).
2. Khiyar asy-Syarath ( Hak Pilih Berdasarkan Syarat)
Khiyar asy- Syarath adalah salah
satu pihak yang melakukan akad membeli sesuatu dengan syarat dibolehkan
melakukan khiyar dalam waktu tertentu atau lebih. Jika Ia menerima maka jual beli terlaksana,
dan apabila tidak maka dibatalkan. Pengajuan syarat tersebut dibolehkan bagi
kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini
adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena
ketidakjelasan barang jualan, maka Nabi SAW memberikan kepadanya hak pilih.
Beliau Rasulullah SAW bersabda,
اذا بايعت فقل : لا خلابة
“kalau
engkau membeli sesuatu, katakanlah, tidak ada penipuan’.” (HR. Bukhari)
Para Ulama berbeda pendapat
berkenaan dengan khiyar asy- Syarath ini. Ada yang ada diantara Ulama yang yang
membatasinya hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh dari itu,
tergantung kebutuhan.
Hak pilih persyaratan masuk dalam
berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan
sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara
asal tidak bisa dibatalkan.
Khiyar asy-Syarath ini batal dengan
ucapan dan tindakan pembeli terhadap barang yang dibelinya, dengan cara
mewakafkan, menghibahkan, atau membayar harga barang tersebut, karena
tindakannya tersebut menunjukka keridhaannya atas akad jual beli dan barang.
3. Khiyar ar-Ru’yah (Hak Pilih Melihat)
Maksudnya adalah hak orang yang
terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek
perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak
berkenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini,
dipersyaratkan dua hal:
Pertama, yang menjadi objek
perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil, dan
sejenisnya.
Kedua, hendanya benda itu memang
belum dilihat saat akad.
Hak pilih melihat ini memang masih
diperselisihkan oleh para Ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh
tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Ada juga yang
melarang secara mutlak. Ulama yang lain juga ada yang memperbolehakan dengan
satu persyaratan, dan bila tanpa itu mereka melarangnya.
4. Khiyar ‘Aib (Hak
Pilih Karena Cacat)
Arti khiyar ‘aib menurut ulama
fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang akad memiliki hak untuk
membatalkan akad atau menjadikannya, ketika ditemukan ‘aib atau kecacatan dari
salah satu yang yang dijadikan alat tukar- menukar yang tidak diketahui
pemiliknya waktu akad. Ringkasnya khiyar adalah hak pilih antara membatalkan
atau meneruskan jual beli atas cacatnya barang yang dibeli yang sebelumnya tidak
diketahui.
Dari ‘Uqbah bin Amir, Rasulullah
SAW bersabda,
المسلمم اخو المسلم, لا يحل لمسم باعع من اخيه بيعا و فيه عيب الا
بينه.
“ seorang muslim itu saudara, maka
tidak dihalalkan menjual kepada saudara sesama muslim barang cacat, kecuali ia
telah menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim,
dan Thabrani). Dalam hadist yang lain,
مر النبي
ص.م. برجل يبيع طعاما فادخل يده فيه فاذا هو مبلول فقال: من غشنا فليس منا.
"Suatu
hari Rasulullah SAW melewati seorang pedagang makanan, kemudian beliau
mencelupkan tangannaya keatas makanan tersebut, dan mengetahui makanan itu
basah(basi). Beliau bersabda,“Barang siapa yang menipu Kita, Ia bukan dari
golongan Kita.”
Hikmah disyariatkannya khiyar ‘aib
ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada berlangsungnya perjanjian usaha
juga didasari yang keberadaan objek perjanjian yang tidak ada cacatnya. Adanya
cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu
disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya
cacat yang menyebabkan adanya kecederaan.
Hukum menjual barang cacat. Jika
akad telah dilakukan dan pihak pembeli telah mengetahui adanya cacat pada
barang tersebut, akadnya sah dan tidak ada khiyar lagi setelahnya. Alasannya ia
teah rela menerima barang tersembut dan mengetahui kondisinya. Namun jika
pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut, dan mengetahuinya setelah akad,
maka akad dinyatakan benar, tapi tidak diberlakukan. Pihak pembeli berhak
melakukan khiyar anatara mengembalikan barang ataudan mengambil pembayarannya
kepada sipenjual, atau ia meminta ganti rugi (pengurangan harga) sesuai dengan
adanya cacat, kecuali ia rela menerima kondisi cacat barang tersebut, atau ada
tanda-tanda yang menjelaskan kerelaan seperti menawarkan barang yang baru ia
beli untuk dijual lagi, atau menggunakannya dan memilikinya.
Perselisihan antara penjual dan
pembeli. Apabila pihak penjual dan pembeli berselisih tentang siapa yang
bertanggung jawab atas cacat barang tersebut dan masing-masing memberikan alternative
atau jalan keluar, namun tidak ada kejelasan dari salah satu keduanya, maka
ucapan yang dipegang adalah pihak penjual dengan melakukan sumpah seperti yang
yang telah dilakukan Ustman. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ucapan
pembeli dan sumpahnya yang dijadikan pegangan dan ia berhak mengembalikannya
kepada penjual.
Daftar Pustaka
Al-Mushlih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam/ Abdullah
AL-Mushlih, Shalah ash-Shawi; murajaah, tim pustaka DH; penerjemah, Abu Umar
Basyir.-Jakarta : Darul Haq, 2004
Syafe’I Rahmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka
Setia.
Sabiq, sayid. 2006. FIQIH SUNNAH. Jakarta : Pena Pundi
Aksara.
Disampaikan pada presentasi di kelas G STEI TAZKIA MATRIKULASI