Wednesday 14 March 2012

KHIYAR DALAM PRESFEKTIF ISLAM


Khiyar secara etimologis berarti memilih, menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau hal) untuk dijadikan orientasi.
Secara terminologis dalam ilmu fikih, khiyar berarti hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih anatara dua ha yang disukainya, meneruskan perjanjian tersebut ataumembatalkannya. Menurut Sayyid Sabiq khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, antara menerima atau membatalkan sebuah akad.
Macam-Macam Khiyar
Jumlah khiyar cukup banyak dan diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiah khiyar ada 17 macam. Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-taamul (melihat, meneliti )yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis itu batal.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi dua, khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatanatau adanya penggantian. Adapun khiyar yang berdasarkan syara’ menurut ulama syafi’iyah ada 16 dan menurut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam.
 Diantara khiyar  yang paling masyhur adalah :     
1.Khiyar al-Majelis (Hak Pilih di Tempat Akad)
Semacam hak pilih bagi pihak-pihakyang melakukan perjanjian untuk membatalkan perjanjian atau melanjutkannya selama belum beranjak dari lokasi perjanjian. Sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah SAW:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا فان صدقا بينا بورك لهما بيعهما وان كتما وكذبا محقت بركة بيعهما
“ Dua orang yang melakukan akad jual beli, dibolehkan melakukan khiyar (pilihan) selama belum berpisah. Jika keduanya berbuat benar dan jelas, maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. jika mereka menyemunyikannya dan berdusta maka Allah akan menghilangkan keberkahan jual beli mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hazam).
Maksudnya setiap pihak mempunyai hak untuk meneruskan atau membatalkan akad selama keduanya belum berpisah secara fisik.
Jika keduanya bangkit dan pergi bersama-sama, maka pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap paling terkuat, bahwa apa yang dimaksud dengan berpisah disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Sedangkan akad yang biasa dilakukan dengan maksud tidak ada perubahan seperti, akad perkawinan dan perceraian, maka khiyar majelis tidak berlaku. Demikian juga pada akad-akad yang bukan lazim seperti mudharabah (akad berserikat untuk mendapat keuntungan), syirkah (konsorsium) dan wakalah (keagenan).

2. Khiyar asy-Syarath ( Hak Pilih Berdasarkan Syarat)
Khiyar asy- Syarath adalah salah satu pihak yang melakukan akad membeli sesuatu dengan syarat dibolehkan melakukan khiyar dalam waktu tertentu atau lebih.  Jika Ia menerima maka jual beli terlaksana, dan apabila tidak maka dibatalkan. Pengajuan syarat tersebut dibolehkan bagi kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.
Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits Habban bin Munqidz. Ia sering kali tertipu dalam jual beli karena ketidakjelasan barang jualan, maka Nabi SAW memberikan kepadanya hak pilih. Beliau Rasulullah SAW bersabda,
اذا بايعت فقل : لا خلابة
“kalau engkau membeli sesuatu, katakanlah, tidak ada penipuan’.” (HR. Bukhari)
Para Ulama berbeda pendapat berkenaan dengan khiyar asy- Syarath ini. Ada yang ada diantara Ulama yang yang membatasinya hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh dari itu, tergantung kebutuhan.
Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Nikah, thalaq, khulu’ dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan.
Khiyar asy-Syarath ini batal dengan ucapan dan tindakan pembeli terhadap barang yang dibelinya, dengan cara mewakafkan, menghibahkan, atau membayar harga barang tersebut, karena tindakannya tersebut menunjukka keridhaannya atas akad jual beli dan barang.

3. Khiyar ar-Ru’yah (Hak Pilih Melihat)
Maksudnya adalah hak orang yang terikat perjanjian usaha yang belum melihat barang yang dijadikan objek perjanjian untuk menggagalkan perjanjian itu bila ia melihatnya (dan tidak berkenan).
Untuk keabsahan hak pilih ini, dipersyaratkan dua hal:
Pertama, yang menjadi objek perjanjian hendaknya merupakan benda tertentu, seperti rumah, mobil, dan sejenisnya.
Kedua, hendanya benda itu memang belum dilihat saat akad.
Hak pilih melihat ini memang masih diperselisihkan oleh para Ulama berdasarkan perselisihan mereka terhadap boleh tidaknya menjual barang-barang yang tidak terlihat wujudnya. Ada juga yang melarang secara mutlak. Ulama yang lain juga ada yang memperbolehakan dengan satu persyaratan, dan bila tanpa itu mereka melarangnya.

4. Khiyar  ‘Aib (Hak Pilih Karena Cacat)
Arti khiyar ‘aib menurut ulama fiqih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya, ketika ditemukan ‘aib atau kecacatan dari salah satu yang yang dijadikan alat tukar- menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad. Ringkasnya khiyar adalah hak pilih antara membatalkan atau meneruskan jual beli atas cacatnya barang yang dibeli yang sebelumnya tidak diketahui.
Dari ‘Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda,
المسلمم اخو المسلم, لا يحل لمسم باعع من اخيه بيعا و فيه عيب الا بينه.
“ seorang muslim itu saudara, maka tidak dihalalkan menjual kepada saudara sesama muslim barang cacat, kecuali ia telah menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim, dan Thabrani). Dalam hadist yang lain,
مر النبي ص.م. برجل يبيع طعاما فادخل يده فيه فاذا هو مبلول فقال: من غشنا فليس منا.
"Suatu hari Rasulullah SAW melewati seorang pedagang makanan, kemudian beliau mencelupkan tangannaya keatas makanan tersebut, dan mengetahui makanan itu basah(basi). Beliau bersabda,“Barang siapa yang menipu Kita, Ia bukan dari golongan Kita.”
Hikmah disyariatkannya khiyar ‘aib ini sangat jelas sekali. Karena kerelaan pada berlangsungnya perjanjian usaha juga didasari yang keberadaan objek perjanjian yang tidak ada cacatnya. Adanya cacat yang tersingkap menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang menyebabkan adanya kecederaan.
Hukum menjual barang cacat. Jika akad telah dilakukan dan pihak pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, akadnya sah dan tidak ada khiyar lagi setelahnya. Alasannya ia teah rela menerima barang tersembut dan mengetahui kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut, dan mengetahuinya setelah akad, maka akad dinyatakan benar, tapi tidak diberlakukan. Pihak pembeli berhak melakukan khiyar anatara mengembalikan barang ataudan mengambil pembayarannya kepada sipenjual, atau ia meminta ganti rugi (pengurangan harga) sesuai dengan adanya cacat, kecuali ia rela menerima kondisi cacat barang tersebut, atau ada tanda-tanda yang menjelaskan kerelaan seperti menawarkan barang yang baru ia beli untuk dijual lagi, atau menggunakannya dan memilikinya.
Perselisihan antara penjual dan pembeli. Apabila pihak penjual dan pembeli berselisih tentang siapa yang bertanggung jawab atas cacat barang tersebut dan masing-masing memberikan alternative atau jalan keluar, namun tidak ada kejelasan dari salah satu keduanya, maka ucapan yang dipegang adalah pihak penjual dengan melakukan sumpah seperti yang yang telah dilakukan Ustman. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ucapan pembeli dan sumpahnya yang dijadikan pegangan dan ia berhak mengembalikannya kepada penjual.


Daftar  Pustaka
Al-Mushlih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam/ Abdullah AL-Mushlih, Shalah ash-Shawi; murajaah, tim pustaka DH; penerjemah, Abu Umar Basyir.-Jakarta : Darul Haq, 2004
Syafe’I Rahmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Sabiq, sayid. 2006. FIQIH SUNNAH. Jakarta : Pena Pundi Aksara.


Disampaikan pada presentasi di kelas G STEI TAZKIA MATRIKULASI

Saturday 10 March 2012

Belajar Ekonomi Islam dari Kisah Anak Nabi Adam AS


Dalam al-Quran surah al-Maidah: 27-30 Allah SWT mengisahkan dua anak Nabi Adam AS. Ayat-ayat ini mengisahkan tentang perselisihan sesama manusia pertama kali yang berakhir dengan pembunuhan. 
Seperti yang diungkapkan dalam beberapa tafsir, bahwa Siti Hawa setiap mengandung melahirkan dua orang anak alias kembar, satu laki-laki dan satu perempuan. Kemudian syariat menetapkan untuk perkawinan secara silang, yakni anak laki-laki dari kelahiran pertama dinikahkan dengan anak perempuan dari kelahiran yang kedua. Begitu pula sebaliknya, anak laki-laki dari kelahiran yang kedua dinikahkan dengan anak perempuan dari kelahiran yang pertama.
Pada kelahiran pertama, Siti Hawa melahirkan Qabil dan saudara perempuannya. Dan pada kelahiran yang kedua Habil dan saudara perempuannya. Menurut ketentuan syariat ketika itu, maka Habil harus menikahi saudara perempuan Qabil dan Qabil menikahi saudara perempuan Habil. Akan tetapi Qabil menolak ketentuan itu karena saudara perempuan Habil (yang harus ia nikahi) itu sedikit kurang cantik daripada saudara perempuannya sendiri. Qabil tetap ngotot ingin menikahi saudara perempuannya sendiri. Kemudian Nabi AS berkata kepada keduanya (Qabil dan Habil), silakan jika begitu yang kalian inginkan, tetapi masing-masing kalian harus melakukan pengorbanan.
Kemudian keduanya pun melakukan apa yang disarankan oleh Ayah mereka Nabi Adam AS. Singkat cerita mereka berdua (Qabil dan Habil)melakukan apa yang Nabi Adam AS perintahkan kepada mereka. Qabil yang notabene seorang petani dan ia kemudian mengorbankan hasil tanamannya yang buruk. Sedangkan Habil yang notabene seorang peternak kambing dan ia kemudian mengorbankan kambingnya yang terbaik.Ternyata kurban yang diterima Allah SWT adalah kurban dari Habil dengan cara api turun kepadanya dan membakar kambingnya.
Tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Qabil dan Habil ini dalam membangun dan mengembangkan Ekonomi Islam:
Pertama, ekonomi harus dibangun diatas prinsip ketundukan pada aturan dan ketetapan Allah SWT dan RasulNya secara penuh.
Dalam level mikro misalnya, pada ekonomi konvensional pada teori konsumsinya hanya terpaku pada tingkat kepuasan (self-utility) dari pengguna barang dan jasa. Sedangkan ekonomi Islam pada teori konsumsinya lebih mengutamakan maslahah utility yang menyangkut dengan maqashid syari’ah.
Ketika aturan Allah SWT dan RasulNya sudah tidak dijadikan lagi sebagai pedoman dalam kegiatan ekonomi maka kehancuran dan kehinaanlah yang akan didapat. Cukuplah Qarun sebagai bukti  untuk kita jadikan pelajaran. Allah SWT menghinakan Qarun dengan menengggelamkanya beserta seluruh harta yang dimilikinya kedalam perut bumi, karena kesombongan dan keangkuhannya yang mengklaim bahwa semua harta yang dimiliki oleh nya merupakan hasil jerih payahnya sendiri dan ilmu yang ia miliki.
Kedua, dalam berjuang memajukan ekonomi Islam itu memerlukan suatu pengorbanan.
 Ingat! tidak ada kemulian dan kejayaan tanpa perjuangan dan tidak ada pejuangan tanpa pengorbanan. Jika kita ingin ekonomi islam ini maju, maka berkorbanlah dengan pengorbanan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Jangan pernah berharap ekonomi Islam ini akan maju dan berkembang, jangan pernah berharap ekonomi islam dapat mengalahkan ekonomi kapitalis kalau Kita saat ini hanya berleha-leha dan santai-santai saja tanpa mau berkorban baik  pikiran, harta, atau bahkan jiwa. Jayanya Islam, jayanya  ekonomi Islam hanya akan dapat diraih melalui perjuangan dan pengorbanan dari Kita semua. Choice is your! Pilihan ada pada kalian. Artinya kalau Kita ingin ingin ekonomi Islam ini maju itu tergantung Kitanya, mau berkorban atau tidak. Mau berkorban berarti memilih kejayaan, tidak mau berkorban berarti memilih kehancuran.  
Ketiga, ekononomi berbagi.
Logika yang dipakai oleh Qabil adalah logika sisa, sedangkan logika yang dipakai oleh Habil adalah logika terbaik sehingga kurbannyalah yang diterima oleh Allah SWT. Sebagai pelaku ekonomi Islam Kita harus menggunakan logika yang terbaik. Contohnya apabila Kita semua sudah mempunyai pekerjaan maka hendaknya Kita menggunakan logika yang terbaik. ketika Kita menerima gajian hal petama kali yang dilakukan adalah membayar zakat dulu, infaq, ataupun sadaqah. Bukan memenuhi kebutuhan pribadi dulu baru kemudian sisanya sisanya baru diinfakkan atau disadaqahkan. Jika logika Habil yang Kita pakai maka insyaallah masalah kemiskinan akan dapat teratasi dan terselesaikan.

sumber: Republika kolom Iqtishadia
             Manajemen syariah oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung