Saturday 10 March 2012

Belajar Ekonomi Islam dari Kisah Anak Nabi Adam AS


Dalam al-Quran surah al-Maidah: 27-30 Allah SWT mengisahkan dua anak Nabi Adam AS. Ayat-ayat ini mengisahkan tentang perselisihan sesama manusia pertama kali yang berakhir dengan pembunuhan. 
Seperti yang diungkapkan dalam beberapa tafsir, bahwa Siti Hawa setiap mengandung melahirkan dua orang anak alias kembar, satu laki-laki dan satu perempuan. Kemudian syariat menetapkan untuk perkawinan secara silang, yakni anak laki-laki dari kelahiran pertama dinikahkan dengan anak perempuan dari kelahiran yang kedua. Begitu pula sebaliknya, anak laki-laki dari kelahiran yang kedua dinikahkan dengan anak perempuan dari kelahiran yang pertama.
Pada kelahiran pertama, Siti Hawa melahirkan Qabil dan saudara perempuannya. Dan pada kelahiran yang kedua Habil dan saudara perempuannya. Menurut ketentuan syariat ketika itu, maka Habil harus menikahi saudara perempuan Qabil dan Qabil menikahi saudara perempuan Habil. Akan tetapi Qabil menolak ketentuan itu karena saudara perempuan Habil (yang harus ia nikahi) itu sedikit kurang cantik daripada saudara perempuannya sendiri. Qabil tetap ngotot ingin menikahi saudara perempuannya sendiri. Kemudian Nabi AS berkata kepada keduanya (Qabil dan Habil), silakan jika begitu yang kalian inginkan, tetapi masing-masing kalian harus melakukan pengorbanan.
Kemudian keduanya pun melakukan apa yang disarankan oleh Ayah mereka Nabi Adam AS. Singkat cerita mereka berdua (Qabil dan Habil)melakukan apa yang Nabi Adam AS perintahkan kepada mereka. Qabil yang notabene seorang petani dan ia kemudian mengorbankan hasil tanamannya yang buruk. Sedangkan Habil yang notabene seorang peternak kambing dan ia kemudian mengorbankan kambingnya yang terbaik.Ternyata kurban yang diterima Allah SWT adalah kurban dari Habil dengan cara api turun kepadanya dan membakar kambingnya.
Tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Qabil dan Habil ini dalam membangun dan mengembangkan Ekonomi Islam:
Pertama, ekonomi harus dibangun diatas prinsip ketundukan pada aturan dan ketetapan Allah SWT dan RasulNya secara penuh.
Dalam level mikro misalnya, pada ekonomi konvensional pada teori konsumsinya hanya terpaku pada tingkat kepuasan (self-utility) dari pengguna barang dan jasa. Sedangkan ekonomi Islam pada teori konsumsinya lebih mengutamakan maslahah utility yang menyangkut dengan maqashid syari’ah.
Ketika aturan Allah SWT dan RasulNya sudah tidak dijadikan lagi sebagai pedoman dalam kegiatan ekonomi maka kehancuran dan kehinaanlah yang akan didapat. Cukuplah Qarun sebagai bukti  untuk kita jadikan pelajaran. Allah SWT menghinakan Qarun dengan menengggelamkanya beserta seluruh harta yang dimilikinya kedalam perut bumi, karena kesombongan dan keangkuhannya yang mengklaim bahwa semua harta yang dimiliki oleh nya merupakan hasil jerih payahnya sendiri dan ilmu yang ia miliki.
Kedua, dalam berjuang memajukan ekonomi Islam itu memerlukan suatu pengorbanan.
 Ingat! tidak ada kemulian dan kejayaan tanpa perjuangan dan tidak ada pejuangan tanpa pengorbanan. Jika kita ingin ekonomi islam ini maju, maka berkorbanlah dengan pengorbanan yang terbaik dari apa yang kita miliki. Jangan pernah berharap ekonomi Islam ini akan maju dan berkembang, jangan pernah berharap ekonomi islam dapat mengalahkan ekonomi kapitalis kalau Kita saat ini hanya berleha-leha dan santai-santai saja tanpa mau berkorban baik  pikiran, harta, atau bahkan jiwa. Jayanya Islam, jayanya  ekonomi Islam hanya akan dapat diraih melalui perjuangan dan pengorbanan dari Kita semua. Choice is your! Pilihan ada pada kalian. Artinya kalau Kita ingin ingin ekonomi Islam ini maju itu tergantung Kitanya, mau berkorban atau tidak. Mau berkorban berarti memilih kejayaan, tidak mau berkorban berarti memilih kehancuran.  
Ketiga, ekononomi berbagi.
Logika yang dipakai oleh Qabil adalah logika sisa, sedangkan logika yang dipakai oleh Habil adalah logika terbaik sehingga kurbannyalah yang diterima oleh Allah SWT. Sebagai pelaku ekonomi Islam Kita harus menggunakan logika yang terbaik. Contohnya apabila Kita semua sudah mempunyai pekerjaan maka hendaknya Kita menggunakan logika yang terbaik. ketika Kita menerima gajian hal petama kali yang dilakukan adalah membayar zakat dulu, infaq, ataupun sadaqah. Bukan memenuhi kebutuhan pribadi dulu baru kemudian sisanya sisanya baru diinfakkan atau disadaqahkan. Jika logika Habil yang Kita pakai maka insyaallah masalah kemiskinan akan dapat teratasi dan terselesaikan.

sumber: Republika kolom Iqtishadia
             Manajemen syariah oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidudin dan Hendri Tanjung


No comments:

Post a Comment