Monday 18 June 2012

Kesejahteraan dan PDB dalam Pandangan Ekonomi Islam


Kesejahteraan dan PDB dalam Pandangan Ekonomi Islam 

Sesunguhnya Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi ini tidak dengan main-main, dan membiarkannya hidup dengan begitu saja. Ketika Allah SWT menciptakan manusia, Allah SWT juga memberikan ketentuan hukum atau syariah agar manusia mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Menurut Ibnu Khaldun kesejahteraan manusia tidak bisa hanya dengan memperhatikan kepuasan materi dan hukuman yang bersifat duniawi saja. Kesejahteraan merupakan hasil interaksi sejumlah faktor ekonomi, seperti moral, sosial, demografi, politik, dan sejarah. Sedangkan menurut Al Syatibi, kemaslahatan umat manusia dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok kehidupan manusia (al maqashid al syariah) dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Memelihara agama, dalam pandangan islam adalah memelihara agama suatu hal yang sangat urgen sehingga memelihara agama dikategorikan kedalam kebutuhan yang dharuriyat(primer). Mengabaikan hal ini sama halnya juga dengan mengabaikan kehidupan dan kemaslahatan, karena agama merupakan fitrah yang sudah Allah SWT tetapkan semenjak manusia diciptakan, hal ini Allah SWT gambarkan dalam Al Quran surat Ar Rumm ayat 30 dan dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Dr. Alexis Carrell, pemenang nobel tahun 1912 dalam bidang Biologi mengatakan bahwa salah satu bencana manusia modern adalah hilangnya peluang untuk beribadah. Tidak ada waktu untuk berdoa kepada Tuhannya. Oleh karena itu, jiwa manusia modern itu sakit karena mereka meninggalkan fitrah kemanusiannya. Jadi, apakah dapat dikatakan manusia akan sejahtera, apabila kesejahteraan itu hanya diukur dengan PDB sedangkan agama yang sudah menjadi fitrah manusia dikesampingkan?.
Memelihara jiwa, islam memandang memelihara jiwa merupakan suatu hal tidak kalah pentingnya agar manusia mendapatkan kemaslahatan di dunia dan diakhirat. Mengabaikan hal ini akan mengakibatkan manusia selalu berada dalam keadaan was-was dan ketakutan akan kesalamatan jiwanya. Contoh dari maqashid ini diantaranya hukum qishash dan larangan terhadap sesorang untuk membiarkan tetangga atau orang lain dalam kelaparan sementara dirinya dalam keeadaan yang kenyang dan berkecukupan. Sejumlah kalangan ekonom banyak yang mempertanyakan kemajuan ekonomi suatau negara yang hanya diukur secara material atau PDB dapat memberikan kesejahteraan masyarakat suatu bangsa. Salah seorang dari mereka DR. John L. Saitaz seorang dosen di Universitas Wolford Carolina Selatan, USA, mengatakan, “Negaraku disebut Negara maju, namun dia ditimpa beberapa problematika yang menakutkan yan menghalangi pergerakan produksi, dintaranya polusi udara, kriminalitas, materialisme, dan tindak kekejian. Demkianlah yang terjadi. Hingga aku bertanya pada diriku, apakah hakekat kemajuan itu? Apakah dia hal yang bagus ataukah buruk? Dan bagaimana caranya dapat mengatasi beberapa sisi yang membahayakan?”(Fiqh ekonomi Umar, 402). Didalam kitab ihya ulumuddin Al Ghazali mengemukakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi, Negara harus mengakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan, serta stabilitas (Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 341). Melihat hal ini, tinginya PDB suatu negara tidak menjamin kesejahteraan masyarakatnya apabila banyak terjadi kriminalitas dan keamanan yang tidak terjamin.
Memelihara akal, dalam Al Quran banyak ayat yang diakhiri dengan kalimat agar manusia itu menggunakan akalnya. Hal ini penting agar manusia dapat menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah SWT yang berupa qauliyah atau kauniyah sehingga kebaikan dan kemaslahatan akan dapat dicapai. Contohnya syariat pengharaman khamr (segala sesuatu yang dapat menghilangkan akal sehat manusia, seperti arak, narkoba, pil ekstasi, dan lain-lain). Apakah dapat dikatakan sejahtera apabila banyak dari masyarakat yang mengkonsumsi khamr? Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.



RIBA DALAM PRESFEKTIF ISLAM

   A.    DEFINISI RIBA
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.  Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara baitil. Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam. Allah SWT ber-firman : “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil”. (An-nisa : 29)

1.      Badr  ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syara shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.
2.      Ragib  al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”.
3.      Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo.apabila telah jatuh tempo dan tidak mampu membayar, si pembeli memberikan tambahan atas tambahan waktu”.
  B.     JENIS-JENIS RIBA
1. Riba Qardh : suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu  yang diisyaratkan terhadap yang berhutang
2. Riba Jahiliyyah : utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah : penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarakan dengan barang jenis ribawi yang lainnya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah


Ahlus Sunnah Wal Jamaah


A.    Pendahuluan


Segala puji hanya bagi Allah rabb semesta alam. Shlawat dan salam mudah-mudahan senantiasa Allah SWT karuniakan atas penutup dan nabi paling mulia, Muhammad SAW, juga kepada para keluarga, sahabat, tabi’in, tabi’ it tabi’in serta orang yang selalu mengikuti jejak langkah beliau hingga akhir zaman.

Nabi SAW bersabda:” umat ini akan terpecah menjadi 72 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al jamaah.” (HR Ahli Sunan dan Masanid, seperti, Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan lain-lain)
Dalam riwayat lain disebutkan:”…yaitu orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.”
Umat islam telah menerima hadits tersebut dengan benar, hadits tersebut menurut pandangan salaf dan Imam ahli sunnah mengisyaratkan kita behwa Nabi SAW telah memperingatkan umatnya agar membuka akalnya untuk merenungi sunnah Alllah yang berlaku bagi setiap makhlukNya. Sunnah Allah ini telah ditimpakan kepada umat terdahulu hingga mereka binasa, kecuali yang diselamatkan Allah SWT. Sabda Nabi SAW bersabda:
“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan: semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. Kaum nashrani terpecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Dan umat islam terpecah menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.”
Dalam riwayat lain disebutkan:” Para sahabat bertanya,”wahai Rasulullah, kelompok manakah yang selamat itu? Jawab Nabi, adalah mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.” dalam riwayat lain Nabi menjawab :” mereka adalah al-jamaah, tangan Allah atas Al jamaah.” Menurut Ibnu Taimiyah, hadits tersebut shahih dan masyhur di dalam kitab sunuan dan masanid, seperti: Sunan Abi Daud, Turmudzi, Nasa’I dan lain-lain(majmu’ fatawa Syaikhul Islam 3:345)
Dalam kesempatan kali ini insyaallah kami akan membahas tentang golongan yang diselamatkan oleh Allah SWT yaitu ahli sunnah wal jamaah mulai dari pengertian hingga ciri-ciri ahli sunnah wal jamaah itu sendiri.