Monday 18 June 2012



RIBA DALAM PRESFEKTIF ISLAM

   A.    DEFINISI RIBA
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar.  Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara baitil. Secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam. Allah SWT ber-firman : “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil”. (An-nisa : 29)

1.      Badr  ad-Din al-Ayni, Pengarang Umdatul Qari Syara shahih al-Bukhari
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.
2.      Ragib  al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”.
3.      Mujahid
“Mereka menjual dagangannya dengan tempo.apabila telah jatuh tempo dan tidak mampu membayar, si pembeli memberikan tambahan atas tambahan waktu”.
  B.     JENIS-JENIS RIBA
1. Riba Qardh : suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu  yang diisyaratkan terhadap yang berhutang
2. Riba Jahiliyyah : utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
4. Riba Nasi’ah : penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarakan dengan barang jenis ribawi yang lainnya.


     C.     JENIS-JENIS BARANG RIBAWI
       1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
       2. Bahan makanan pokok, seperti beras,gandum, dan jagung, serta bahan makanan  tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

D.   KONSEP RIBA DALAM PERSPEKTIF NON-MUSLIM
               1. Konsep bunga dikalangan Yahudi
Kitab Deuteronomy (ulangan ) pasal 3 ayat 19 menyatakan  “ janganlah engkau membungakan uang kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”
2. Konsep Bunga di kalangan Yunani dan Romawi
Dua ahli filsafat  Yunani terkemuka, plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322),mengecam praktik bunga. Alasan Plato mengancam praktek bunga adalah pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua,bunga bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengekploitasi golongan miskin.
3. Konsep bunga dikalangan kristen
Dalam Lukas 6:34-35 ayat yang mengancam praktek bunga.
“Dan jikalau kamu memnjamkan sesuatu kepada orang lain karena kamu harap akan mendapatkan sesuatu darinya, apakah jasamu orang-orang yang berdosa pun akan meminjamkan kepada orang yang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak tuhan yang maha tinggi, sebab dia beik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”.

 E.      LARANGAN RIBA DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
              1. larangan Riba dalam Al quran
        Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak aggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu pebuatan mendekati atau bertaqarrub kepada Allah SWT.
        “ Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka itu tidak menambah disisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Ar-Rum:39).
        Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
        “ Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta oang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir  diantara mereka itu siksa yang pedih.” (an-Nisa’:160-161)
        Tahap ketiga,riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman:
        “ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan beripat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran:130)
        Ayat ini turun pada tahun ke-3 hijriah. Secara umum , ayat ini harus dipahami bahwakriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek dari praktek pembungaan uang pada saa itu.
        Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah Al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah.
        Ayat terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tamabahan yag diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhr yag diturunkan mengenai riba.
        “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalka sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allahbdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; Kamu tidak menganiaya dan dianiaya.” (Al-Baqarah:278-279)
        Ayat ini baru sempurana kita pahamijika kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu ja’far Muhammad bin Jabir At-Thabari meriwayatkan,
        “ kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahaw utang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah yang meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliah bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedtangan islam, mereka tetap memilki kekayaan dan asset yang banyak. Karenanya datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) tersebut. Dlaporkan masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini,Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW dan turunlah ayat di atas. Rasulullah SAW lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, ‘jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”  
             2. Larangan Riba dalam Hadits
         Dalam amanat terakhir Nabi SAW pada haji wada’ beliau bersabda “ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhan mu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba itu harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak menderita ataupun mengalami ketidak adilan.”
        “ jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima Riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda,” mereka itu semuanya sama “ (HR Muslim no.2995, kitab al-Masaqqah)
        Diriwayatkan oleh Hakim dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw. Bersabda , “ riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan) ; yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan Ibunya.”
F. ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA
         Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada   cendikiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya  karena alas an sebagi berikut :
1.  Dalam keadaan darurat , bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar”   dan tidak  menzhalimi diperkenankan .
3. Bunga, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba. 
1. Darurat
        “… barangsiapa dalm keadaan terpaksa (memakannya), sedang dia (1) tidak menginginkannya dan (2) tidak pula melampaui batas , maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mah Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 173)
        Al qawaid alfiqhiyah,para ulama merumuskan kaidah “ Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.”
        Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di huta ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampau batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi sampai dibawa pulang.
 2. Berlipat Ganda
              “ hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian agar alian mendapat keberuntungan.” sepintas ayat ini hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami ayat tersebut dengan cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba yang lainnya secara komprehensif.
·         kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagi hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat.
      Syarat berarti kalau terjadi perlipat gandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.
·         Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi Fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut.ia menjelaskan secara linguististik ( dha’fun ) arti “ kelipatan “. Sesutu berlipat minial 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan ( ‘adh ‘aafun ) adalh bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalh 3. Dengan demikian, ( ‘adh ‘aafun ) berarti 3x2=6 kali. Adapun ( mudhaa ‘afan ) dalam ayat adalah ta’kid ( litta’kid ) penguatan.
Dengan demikian, menurutnya, kalau brlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa minimal harus 6 kali atu bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam. 
3. Badan Hukum dan Hukum Taklif
        Pendapat yang mengatakan ketika ayat riba turun di Jazirah Arab belum ada bank atau lembaga   keuangan, yang ada hanya indvidu-individu. Pendapat inii memiliki banyak kelemahan baik sisi historis ataupun teknis:
a.       Tidak benar pada zaman pra-Raulullah saw tidak ada “badan hukum. Sejarah Romawi,persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan.
b.       dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering diseeebut juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Jadi secara hukum juridical personality  secra hukum adalah sah mewakili individu secara keseluruhan.
G. PERBEDAAN INVESTASI DAN MEMBUNGAKAN UANG
 1.  Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur  ketidakpastian.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang  kurang mengandung resiko karena peroehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
H. PERBEDAAN ANTARA BUNGA DAN BAGI HASIL
Tabel Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL
·         Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
·         Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
·         Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
·         Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
·         Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
·         Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh dua belah pihak
·         Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat.
·         Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
·         Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, temasuk agama islam.
·         Tidak ada yang meragukn keabshan bagi hasil.

I. DAMPAK NEGATIF RIBA
  1. Dampak ekonomi
              Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang.karena elemen penuntu harga adalah suku bunga. Semakin  tinggi suku bunga maka semakin  tinggi pula harga yang ditetapkan pada suatu barang.
              Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga,akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih kalau bunga itu dibungakan lagi.
  1. Sosial Kemasyarakatan
              Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba meminjamkan uangnya dengan catatan uang yang dipinjam tersebut harus kembali dengan jumlah yang lebih dari uang semula.
J. HIKMAH DIHARAMKANNYA RIBA
            Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Dan satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional




DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafii. 2011. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta. Gema Insani dan Tazkia Cendikia.
Qardhawi, Yusuf. 1993. Halal dan Haram dalam Islam. Bina Ilmu.










No comments:

Post a Comment